Nama lengkapnya Diah Puspitosari. Namun, ia lebih sering dipanggil Poppy Diah. Dokter spesialis kulit dan kelamin di Bandung ini tidak seperti para dokter pada umumnya. Walau ia bertugas melayani pasien sebagaimana umumnya dokter lain, ia juga aktif berkegiatan sosial. Salah satu yang menjadi fokus perhatiannya adalah pemberdayaan kaum penyandang cacat atau difabel, khususnya tuna netra. Kegiatan itu, harus diakui, merupakan kegiatan yang masih sering diabaikan sebagian masyarakat. Apalagi kaum difabel memang sering berada di posisi yang dipandang “berbeda”. Hal itulah yang memanggil Poppy untuk terjun menyelami dunia kaum difabel.

Awal mula perjalanan Poppy terjun ke dunia difabel adalah saat ia kuliah di salah satu universitas negeri di Jatinangor, Kab. Sumedang. Di pertengahan era 90-an itu, ia menjadi reader bagi penyandang tuna netra. Seiring perjalanan waktu, ia pikir kebutuhan membacakan buku bagi mereka tidaklah cukup. Ia pun melanjutkan tugasnya menjadi pendamping ketika mereka berpergian ke luar. Ia mengibaratkan tugasnya adalah “menjadi mata pengganti” bagi mereka.

“Jadi kalau mereka jalan ke mana, kita temani. Kita kasih tahu juga jalannya seperti apa. Ada turunan, naik, turun, berbatu, licin, dsb. Kita harus bisa mendeskripsikan juga apa yang kita lihat. Begitu masuk ke ruangan, kita cerita ada apa saja di ruangan itu,” ujar Poppy beberapa waktu lalu.

Menjadi “mata pengganti” bagi penyandang tuna netra dijalani Poppy selama beberapa tahun. Pada 2006, ia pun aktif di Yayasan Mata Hati Indonesia (YMHI)---sebuah yayasan yang concern di bidang pemberdayaan kaum tuna netra---sebagai Ketua Umum hingga 2011. Pada masa-masa itu, ia melihat kaum difabel, terutama tuna netra, masih sering dipandang sebagai kelompok eksklusif. Oleh karena itu, ia bersama teman-temannya turut membantu mengembangkan skill dan kebutuhan mereka, agar mendapat porsi yang setara di masyarakat.

“Sekarang ini masih banyak---bahkan di kalangan difabel sendiri---yang memisahkan diri. Seolah-olah mereka menjadi kelompok yang tersisihkan. Padahal menurut kami, mereka itu sama. Dalam artian: sama karena setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Mungkin keterbatasan mereka di penglihatan, kita di yang lain. Jadi nggak ada salahnya kita berbaur,” kata Poppy yang kini menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Masyarakat YMHI.

Ia mengakui, walau selintas terlihat sederhana, implementasi di lapangan cukup menyulitkan. Beberapa hambatan terjadi. Kurang lebih ia menyimpulkan hambatan tersebut dikarenakan beberapa sebab. Pertama, pandangan masyarakat umum yang masih menganggap kaum difabel adalah sesuatu yang berbeda. Kedua, fasilitas publik yang tidak leluasa diakses oleh difabel. Ketiga, diskriminasi ketika mendaftar di sekolah atau pekerjaan. Keempat, motivasi diri kaum difabel sendiri yang rendah.

Tergerak untuk “membuka mata” pandangan masyarakat awam mengenai kaum difabel, hobi menulis Poppy pun mendapat penyaluran lewat buku “Melihat Dunia Tanpa Mata”. Di buku setebal 160 halaman tersebut, ia menceritakan kisahnya mendampingi kaum difabel selama belasan tahun. Sebagai contoh, di satu cerita Poppy mengajak salah seorang tuna netra untuk berani terjun ke masyarakat dengan mendaftar pekerjaan. Selain itu, banyak juga belasan cerita lain yang mengisahkan kehidupan kaum tuna netra di Bandung. Pada umumnya, kehidupan mereka pun tidak jauh dengan kebanyakan orang lainnya. Poppy berharap, kisah sederhana yang ditulisnya tersebut berhasil menghancurkan tembok yang selama ini terbangun diantara kaum difabel dengan masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan fasilitas publik di Bandung? Apakah sudah cukup baik bagi kaum difabel? Poppy berpendapat, Bandung sudah terlihat cukup ramah bagi kaum difabel dibanding kota-kota lain seperti Jakarta. Namun, ia berharap pembangunan fasilitas publik, seperti mall, sekolah, atau rumah sakit, turut memperhatikan keselamatan kaum difabel lebih baik lagi. “Jadi nggak cuma mementingkan faktor keindahan doang, tapi juga faktor keselamatan kaum difabel,” tegas dia.

“Ada beberapa pusat perbelanjaan di Bandung yang sudah seperti itu,” lanjut Poppy, “Satpam mereka di-training bagaimana membantu kaum difabel. Jadi kalau ada kaum difabel sendirian datang ke sana, mereka merasa aman dan nyaman.” Namun, perempuan berkerudung itu tidak menampik jika hal tersebut masih tergolong langka. “Karena masih banyak fasilitas publik yang belum ramah terhadap penyandang tuna netra. Bahkan rumah sakit sekalipun,” tutup dia.

Perjalanan Poppy bersama teman-temannya membantu kaum difabel, khususnya tuna netra, memang belum selesai. Masih banyak pekerjaan lain yang menunggu untuk dihadapi. Dia sendiri mengakui di bagian akhir bukunya, bahwa pihaknya tidak tahu bagaimana akhir perjalanannya ini. Namun, menurut ia, dirinya beserta kawan-kawannya sudah mencoba mulai merintis pangkalnya. Ia berharap, di tengah keterbatasan, semoga perjalanan tersebut membawa peluang untuk lebih memahami satu sama lain, termasuk di dalamnya memahami dunia kaum difabel yang selama ini jarang dilirik banyak orang. (IP)

Photo Source: dok.YMHI & Poppy Diah

Tags : Bandung, Bandungreview, Kekurangan, Jatinangor, BRDC, Sumedang, Buku, Sosial, Dokter, Aktivis, Cacat, Diah Puspitosari, Fasilitas Publik, Keselamatan, Melihat Dunia Tanpa Mata, Melihat, Poppy Diah, Poppy Diah: Dokter Iya, Aktivis Sosial juga Iya, Poppy Diah: Doctor and Social Activist at Once, Training, Yayasan Mata Hati Indonesia, YMHI, difabel, tuna netra
Belum ada komentar, mau menjadi yang pertama? Silahkan isi komentar Anda.
    SOCIAL MENU
    SEARCH
HOT PICK