Ketika kita membicarakan cara penanganan sampah, yang disebutkan selalu adalah soal penyediaan TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), pemisahan sampah organik dengan yang non-organik, usaha daur ulang sampah, ketersediaan fasilitas, tenaga kebersihan, dan pelayanan pengumpulan sampah yang memadai, juga imbauan kepada masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memilah antara sampah organik dengan sampah non-organik. Intinya, selalu pembicaraan tersebut semata-mata hanya bersifat “bagaimana” saja. Sebenarnya, itu tidak salah. Tapi menjadi salah jika kita “cuma” dan “melulu” mengangkat aspek “bagaimana”. Padahal, sebelum kita membicarakan “bagaimana”, kita harus lebih dulu memikirkan dan merumuskan “mengapa”-nya, lalu menganalisa “bagaimana” mengubah atau mengeliminasi faktor “mengapa” itu (akar besar permasalahan), barulah setelah itu memikirkan “bagaimana” menanggulangi permasalahan aktualnya.

Kembali pada topik “mengapa”. Mengapa penanganan masalah sampah di Kota Bandung (dan juga di berbagai tempat di Indonesia) terasa begitu lamban? Kalau memang bisa dikatakan pemerintahnya tidak serius, mengapa mereka tidak serius? Mengapa masalah sampah seolah menjadi “lingkaran setan”, kian lama kian tak jelas di mana dan kapan berakhirnya? Jika ada pemerintah daerah atau pihak-pihak berwenang lainnya, yang serius menangani sampah, mengapa sampah tetap juga jadi masalah? Kalau kita berkata, “Karena masyarakat tetap membuang sampah sembarangan”, mengapa begitu?

Pernahkah terpikir oleh kita, biang keladi semua ini bukanlah “sang sampah” itu sendiri? Sebetulnya, “tersangka” utamanya adalah manusia. Ya kita semua ini! Kita selalu dengan entengnya menudingkan jari pada pemerintah dan pihak berwenang lainnya. Tapi kita lupa, semua yang duduk di pemerintahan dan menjabat di instansi terkait adalah saudara-saudara kita juga. Mereka dan kita, rakyat biasa, berasal dari bangsa yang sama. Istilahnya, mereka dan kita berasal dari “rahim” yang sama. Kita semua hidup di lingkungan dan dalam adat-kultur yang sama. Maka, tak heran, perilaku pemerintah dengan rakyat pun jadinya serupa. Sebab, pola pikir keduanya sama saja.

Ya! Pola pikir. Paradigma. Itulah akar paling mula dari permasalahan sampah (dan juga, semua permasalahan lain bangsa ini, yang tidak akan dibahas di sini). Apa yang salah? Kesalahannya adalah: kita memandang kebersihan dan sampah sebagai bukan masalah serius. “Serius” di sini berarti menyangkut masalah hidup-mati, selamat-tidak selamat, sakit-sehat, sejahtera-menderita, sentosa-prahara. Secara kognitif, memang, hampir semua kita tahu bahwa kebersihan itu penting dan sampah itu harus ditangani dengan benar. Tapi itu hanya sebatas pengetahuan, tidak lebih. Belum menjadi pembentuk pola pikir, pola perasaan, dan pola laku. Dan, yang jelas, belum menjadi karakter. Sebab, paradigma kita masihlah menganggap kebersihan itu ada di urutan prioritas bawah, dan sampah itu bukanlah sesuatu yang harus benar-benar dikelola (baik secara pribadi per individu, maupun secara kolektif per instansi dan komunitas) secara serius. Lihat saja, anak-anak kecil masih selalu membuang bungkus makanan dan apapun dengan sembarangan. Mengapa? Karena orangtuanya dan orang dewasa lainnya berpikir, “Ah! Biasa, anak-anak! Toh cuma sampah ini!” Nah?!... Barangkali ada yang keberatan dengan “tuduhan” barusan, ada yang merasa sudah mengajari anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya. Oke! Pertanyaan selanjutnya, “Apakah kita terus-menerus mengajari mereka? Tiap kali ada sampah di tangan mereka, tiap kali itu pula kita menyuruh mereka membuangnya ke tempat sampah? Selama berapa lama? Sehari? Seminggu? Sebulan? Setahun? Sampai akhirnya menjadi pola kebiasaan merekakah? Atau, apakah kita cepat bosan atau capek memberitahu, lalu membiarkan mereka kembali membuang sampah sembarangan, dengan alasan: ‘Biar nanti saya saja yang membuangnya ke tempat sampah’?” Mulai mengena ‘kan? Atau... tunggu! Jangan-jangan, kita sendiri terbiasa “ringan tangan”, maksudnya, senantiasa “refleks” membuang sampah di tangan kita ke mana saja, dan itu kerap dilihat oleh anak-anak!

Ini membuat semua pertanyaan terjawab: pemerintah tidak serius menangani sampah, orang-orang tetap membuang sampah sembarangan ke kali atau ke jalan atau ke mana saja semaunya, itu semua karena kita semua adalah orang-orang dengan paradigma yang sama! Karena itu, solusi penanganan sampah apapun yang diberikan hanyalah solusi semu jika paradigma keliru tetap melekat di otak dan sanubari kita. Penanganan sampah harus dimulai terlebih dahulu dari pengubahan pola pikir, pola laku, kebiasaan, dan karakter kita masing-masing dalam memandang dan menata sampah, sesedikit dan sekecil apapun sampah itu. Kalau tidak, solusi secanggih dengan teknologi semutahir apapun tidak akan menuntaskan masalah. Malah mungkin yang ada adalah tambahan masalah! Sebaliknya, jika kita sudah memiliki paradigma dan kebiasaan yang benar dalam menghadapi sampah, otomatis, ide-ide untuk menata sampah akan mengalir lancar dari otak kreatif kita. Dan pasti berhasil!

Kita harus belajar dari negara-negara yang terkenal sangat bersih dan asri, relatif sangat bebas dari masalah sampah. Singapura contoh yang paling baik. Dan cara belajar yang baik adalah, kembali, dengan menanyakan “mengapa”. Dan ketika kita mencari jawaban atas pertanyaan “mengapa” itu, kita niscaya menemukan jawaban ini: Singapura (dan juga negara-negara “bersih dan bebas sampah” lain) bisa demikian tidak hanya karena adanya penanganan sampahnya yang amat baik (kendati memang mereka memilikinya), tapi pertama-tama justru karena “tidak ada”-nya orang yang membuang sampah sembarangan. Itu justru yang paling penting! Sehingga, bilamana ada yang membuang sampah sembarangan, orang-orang di sana tidak akan segan-segan menjatuhkan sanksi tegas. Mengapa? Sebab, mereka benci sekali perbuatan itu!

#nuliseuy

Nama penulis: Samuel Edward

Twitter penulis: @sammyaddward

Tags : Bandung Review,
Belum ada komentar, mau menjadi yang pertama? Silahkan isi komentar Anda.
    SOCIAL MENU
    SEARCH
HOT PICK