Artikel • Gaya Hidup • Gaya Bandung : Selamat Pagi, Adu Domba!
Seakan menanti giliran maju ke medan laga, makhluk-makhluk bertanduk kekar itu pun dengan sabarnya berdiri manis di atas mobil pick up yang telah membawa mereka ke tanah Babakan Siliwangi (tepat di belakang Sasana Budaya Ganesha), Bandung, pada Minggu (05/06) pagi lalu. Tak lupa bertahtakan kalung indah di leher, bak raja yang akan turun ke medan perang, mereka pun menuruni kendaraan roda empat tersebut menuju gundukan tanah tempat mereka menunggu saat-saat unjuk gigi.
Jarum jam pun tertuju tepat ke arah angka 9, sudah saatnya kami beranjak menuju arena pertandingan. Terlihat para pengunjung – yang terdiri dari beragam kalangan – sudah mulai memadati tanah lapang yang terletak di belakang area lari Sasana Budaya Ganesha itu. Di tengah tanah kosong tersebut, telah berdiri pagar kayu dengan luas kurang lebih 10 meter persegi, yang dilengkapi juga oleh bangku panjang bagi penonton serta tribun kayu tempat para panitia berkumpul dan berunding.
Acara yang rutin diadakan sebulan sekali di Babakan Siliwangi alias Baksil ini dibuka oleh narasi dari sang pembawa acara, serta diiringi alunan musik tradisional Sunda. Mulailah para domba ini memasuki arena pertarungan, mengambil ancang-ancang dan saling mengadu kekuatan tanduknya yang melingkar kokoh di kepalanya. Tampak tiga orang pria bercelana pangsi dan bertopi koboi yang bertugas menjadi wasit kompetisi adu domba ini, mereka berdiri di tengah lapangan, dan serta merta menjaga keadaan para domba yang sedang bertarung. Bila terdengar aba-aba “perawatan” dari suara di balik sound system, para wasit dalam arena pun langsung memisahkan kedua domba ini, untuk sekedar dipijat dan dipindahkan ke tengah arena kembali.
Biasanya, para domba jantan ini dibiarkan saling mengadu kekuatan tanduknya hingga 20 kali hentakan, namun hal ini bersifat tak tentu pula. Banyak dari domba yang bertarung, tak sanggup menandingi lawannya, sehingga sebelum terjadi cedera yang lebih parah lagi, pertarungan pun dihentikan pada saat itu pula. Gerakan serta hantaman keras pun kian menghibur mata pengunjung – termasuk kami – namun ternyata, tak semua domba petarung ini memiliki nyali yang tinggi, contohlah salah satu ekor domba putih yang tiba-tiba saja melarikan diri, sampai melompati pagar kayu dan cukup membuat para penonton histeris. Peta kekuatan yang ia hadapi terasa lebih berat, dan ia pun menyerah sebelum turun ke medan perang.
Warisan budaya Sunda yang telah tenar sebelumnya di Garut, Jawa Barat ini, ternyata juga mengambil perhatian dari banyak kalangan di kota Bandung. Banyak dari pemilik domba-domba jantan ini berasal dari kota Bandung, seperti daerah Gegerkalong, Soreang, dan masih banyak lagi. Hanya bedanya, kompetisi domba di Baksil tidak sama seperti adu domba pada umumnya, yang menggunakan “saweran” atau taruhan domba manakah yang akan memenangkan pertandingan, karena tujuannya hanya untuk hiburan dan ajang silaturahmi semata.
Seperti sebuah gejolak batin yang muncul seketika saat menonton kompetisi adu domba ini, di satu sisi adalah, betapa ibanya melihat domba yang juga ciptaan Tuhan, dipertandingkan untuk mengadu kekuatan masing-masing, dan menunjukkan, domba siapa yang lebih unggul di medan perang. Namun di sisi lain, kegiatan ini merupakan sebuah warisan budaya yang telah bertahan sejak lama, dan telah menjadi bagian dari identitas bangsa. Selain itu, kepribadian dan jiwa “petarung” yang dimiliki para domba pun menjadi salah satu poin positif mengapa acara ini tetap berlangsung hingga detik ini, sudah menjadi naluri bagi domba jantan untuk mempertunjukkan kekuatannya, dan manusia lah yang memfasilitasinya.
Jadi, sudut pandang manakah yang akan kamu pilih, pembaca? Warisan budaya, ataukah rasa peduli terhadap anggapan eksploitasi fauna di dunia – khususnya di Indonesia? (CS)
Tags : -
Copyright © bandungreview and in association with idwebhost
List Komentar