Artikel • Gaya Hidup • Kemarin, Dasamuka dan Manusia
Warna hitam yang membalut sang tubuh seakan menjadi judul dalam penampilan singkatnya pada Minggu (08/05) pagi yang cerah ini. Tak lupa dengan lantunan instrumen tradisional Sunda yang terbuat dari bambu, sebuah pementasan singkat yang penuh dengan kesan “magis” yang tertanam di dalamnya. Para penonton – termasuk kami – mulai mengelilingi saung tempat singgah para personil Karinding Buhun atau yang akrab disapa dengan Karuhun ini.
Irama mulai memasuki klimaks, dan sosok hitam-hitam dengan kepala terikat pulasara pun menggerakkan badannya seketika, menuju sisi tengah dalam panggung aspal, tanpa menggunakan alas kaki sedikitpun. Sesaat, dengan wajah yang berubah bengis dalam secepat kilat, seolah-olah sesosok tokoh penuh angkara murka merasuki pikirannya, berbagai kalimat yang konon berasal dari Bahasa Sunda “Baheula” pun mulai terurai dari mulutnya.
“Hey, manusia, geura tutup mata lahir, geura buka mata batin!” teriak sang pelantun sembari menunjuk ke arah penonton yang mengelilinginya. Segeralah buka mata lahir, dan bukalah mata batin, karena mata batin tak pernah berbohong, begitulah pesan yang ingin disampaikan dari berbagai patahan kalimat dalam pertunjukan teatrikal Sunda, kolaborasi antara seni peran serta seni musik tradisional yang memukau, penuh makna dan tak lekang dimakan jaman.
Tersebutlah nama Dasamuka, lakon yang diperankan oleh Kang Ace Karuhun dalam teater jalanan di Kampung Seniman Bangun Pagi kali ini. Kang Ace menuturkan, bahwa sifat Dasamuka diadaptasi dari karakter seorang tokoh kisah pewayangan Indonesia, bernama Rahwana, raja dari segala setan atau sifat buruk manusia. Dalam pertunjukkan Karuhun ini, dikisahkan bahwa Dasamuka ingin merubah diri, dari sebuah sosok dengan penuh “merah” di dalam hatinya, menjadi seonggok makhluk berwarna “putih”, dari sebuah kesalahan, menuju sebuah kebenaran.
“Pada dasarnya, setiap makhluk di muka bumi ini memiliki sebuah perasaan bersalah dalam hatinya, sehingga ingin kembali ke jalan yang benar. Namun Dasamuka, raja dari segala setan yang juga ingin merubah diri menjadi sosok yang putih, tak bisa melakukan semua itu, karena hakikatnya dia telah menjadi sosok jahat.” Ungkap Kang Ace tentang kisah di balik penampilannya yang ciamik siang itu. “Selain itu, Dasamuka pun menghujat manusia, kenapa sampai meniru perilaku dari Dasamuka, walaupun sudah tahu, bahwa Dasamuka adalah sosok yang jahat, iblis dan dapat merusak muka bumi ini.”
Begitu dalam makna yang tersirat, seolah ingin menyampaikan sebuah pesan bagi masyarakat, bahwa dalam setiap diri manusia, karakter Dasamuka selalu membayangi kehidupan kita. Dasamuka diibaratkan dalam sisi gelap dari seorang manusia, setiap sifat yang wajar bernaung dalam karakter manusia, bisa dikatakan sebagai nafsu atau bisikan-bisikan “negatif” yang menjadi lawan dari kata hati.
Benar-benar sebuah penampilan singkat yang sangat memikat, dengan irama “magis” dari instrumen bambu tradisional Sunda, yang terdiri atas karinding, celempung, suling, ridu-ridu, saluang dan petir, tak lupa dikombinasikan dengan sastra Sunda terdahulu yang lantang disampaikan, namun tetap dikemas dalam bahasa dan kisah yang menarik, serta mudah dimengerti. Seakan-akan menyihir para penonton yang berada di sekelilingnya – termasuk kami – untuk merangkumnya dalam tiga kata. Unik, etnik dan ciamik! Cheers! (CS)
Tags : -
Copyright © bandungreview and in association with idwebhost
List Komentar